Arktik Menyatukan Benua
kembali ke daftar isiKeikutsertaan dalam ekspedisi Arktik internasional “Pemecah Es Pengetahuan 2025” (Icebreaker of Knowledge 2025) yang diselenggarakan oleh Rosatom menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi anak SMA Priya Wicaksono dan profesor Topan Setiadipura dari Indonesia. Mereka bercerita bagaimana mereka bisa menjadi peserta proyek ini, bagaimana jalannya ekspedisi, dan kesan paling kuat yang mereka dapatkan.
Priya Wicaksono mengisahkan bahwa ia mengetahui tentang ekspedisi “Pemecah Es Pengetahuan 2025” secara tidak sengaja. Ia dan ayahnya sedang mencari program pendidikan untuk belajar melalui internet. “Saya memutuskan untuk mendaftar karena terdengar seperti mimpi yang menjadi kenyataan,” ujar Priya. Tahap seleksinya, menurut dia, tidak terlalu sulit. “Pertama saya mengerjakan kuis dengan berbagai topik dan pada akhirnya saya membuat presentasi video tentang peran energi nuklir di Indonesia. Secara keseluruhan, dalam proses seleksi yang diuji adalah pengetahuan dan pemahaman saya, karena topiknya mencakup spektrum luas berbagai bidang ilmu alam dan tentu saja energi nuklir,” jelas Priya.
Topan Setiadipura adalah Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia. “Jadi secara tidak langsung saya terlibat dalam sektor nuklir Indonesia karena saya memberikan jasa konsultasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, otoritas pengawas nasional, serta BUMN. Sedangkan terkait ‘Pemecah Es Pengetahuan 2025’, saya menerima undangan dari ‘Rosatom’, kemungkinan besar karena keterlibatan saya sebelumnya dalam banyak kegiatan tentang energi nuklir yang diselenggarakan korporasi ini di Indonesia,” tutur profesor tersebut.
Pengetahuan dan Persahabatan
Ekspedisi Arktik internasional ini dimulai pada pertengahan Agustus di Murmansk, Rusia, sebuah kota di tepi Laut Barents. Dari sana kapal pemecah es bertenaga nuklir “50 Let Pobedy” (secara harfiah: “50 Tahun Kemenangan”) berlayar menuju Kutub Utara. Di atas kapal terdapat 66 pelajar dari 21 negara, serta para pakar, yaitu ilmuwan dan pegiat sains terkenal dari berbagai bidang. “Tugas utama saya dalam ekspedisi adalah berbagi pengetahuan kepada para pelajar tentang teknologi reaktor nuklir, potensi dan risikonya,” jelas Topan Setiadipura.
Di atas kapal para peserta disambut dengan program pendidikan yang sangat padat: kuliah dan lokakarya setiap hari. Mereka juga mempelajari struktur dan cara kerja kapal pemecah es serta melakukan serangkaian eksperimen ilmiah yang hanya bisa dilakukan di lintang utara. “Yang paling menginspirasi bagi saya adalah lokakarya perakitan wahana penjelajah planet. Kami bekerja dalam tim, satu kelompok merakit dan kelompok lain memprogram. Saya belajar banyak hal praktis tentang cara merakit, dan untuk percobaan pertama semuanya berjalan sangat baik,” ujar Priya Wicaksono. Yang dimaksud adalah model sederhana dari platform bergerak penjelajah planet masa depan yang dirancang untuk eksplorasi geologi di berbagai benda Tata Surya. Model yang dirakit para peserta itu kemudian diuji dalam kondisi Kutub Utara.
Pengalaman terpenting bagi para pelajar juga adalah pergaulan dengan teman-teman dari negara lain, kata Priya Wicaksono. “Kenangan paling menakjubkan bagi saya adalah bahwa saya bisa berkenalan dengan begitu banyak orang berbeda di kapal dan menjalin persahabatan dengan banyak di antara mereka.”
“Anak-anak memiliki bakat dan potensi yang luar biasa. Hal ini bukan hanya menyangkut kemampuan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga bakat di bidang lain, misalnya seni. Selain itu, tinggal dalam kondisi terisolasi selama beberapa hari menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi mereka. Pengalaman ini membuka mata mereka terhadap betapa beragamnya dunia dan mengajarkan mereka untuk menghormati budaya serta cara berpikir satu sama lain… Menurut saya, ini adalah bekal terbesar bagi perkembangan mereka di masa depan,” kata profesor Topan Setiadipura.

Di Puncak Planet
Kulminasi ekspedisi ini adalah tibanya kapal pemecah es di Kutub Utara, titik di mana sumbu rotasi Bumi yang imajiner memotong permukaan planet di Belahan Bumi Utara. Para peserta mengaku akan mengingat hari itu seumur hidup.
“Hari itu benar-benar penuh emosi, apalagi karena saya mencapai Kutub Utara tepat pada peringatan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Cakrawala Arktik tampak menakjubkan, dan kesadaran bahwa kami berada di puncak Bumi semakin menguatkan perasaan itu. Tetapi momen yang paling berkesan bagi saya adalah kesempatan untuk berenang di perairan Arktik. Di lokasi itu kedalamannya sekitar 4 km, dengan suhu kurang lebih minus 1 derajat Celsius. Entah bagaimana, di air sedingin itu, dari saat bersiap meloncat, ketika berada di dalam air, sampai setelah naik kembali, saya merasa nyaman… sama sekali tidak kedinginan. Saya rasa itu karena rasa gembira dan perasaan bahwa momen seperti ini hanya datang sekali seumur hidup,” kenang Topan Setiadipura.
Bagi banyak peserta dari luar negeri, ini adalah pertama kalinya dalam sejarah negara mereka seseorang berhasil mencapai “puncak” planet ini.
Inspirasi untuk Masa Depan
Ekspedisi ini bukan hanya memberikan emosi yang tak terlupakan, tetapi juga menjadi ajang berbagi pengetahuan, sumber inspirasi dan simbol kerja sama internasional. Bagi banyak peserta, pengalaman ini membantu menghilangkan berbagai kesalahpahaman tentang energi nuklir.
“Sebelum perjalanan, saya punya beberapa kekhawatiran tentang energi nuklir, terutama mengenai bahaya radiasi bagi manusia dan lingkungan. Pertama-tama karena saat itu pengetahuan saya tentang sektor nuklir masih terbatas. Baru dalam proses pendaftaran ekspedisi ini dan selama ekspedisi sendiri saya menjadi jauh lebih paham tentang industri nuklir. Saya mengetahui bahwa fasilitas nuklir tidak dibangun secara sembarangan, melainkan dirancang dengan sangat cermat dengan mempertimbangkan bahkan skenario keadaan darurat yang paling ekstrem, dan bahwa keselamatan selalu menjadi prioritas utama di sektor ini,” ujar Priya Wicaksono.
Setelah ekspedisi, ia mulai memikirkan manfaat yang bisa diberikan energi nuklir bagi negaranya dan bagi seluruh planet. “Masa depan energi nuklir, jika digunakan untuk kebaikan umat manusia, berpotensi merevolusi sektor energi,” kata Priya Wicaksono. Anak SMA ini menuturkan bahwa ekspedisi membantu dia menentukan pilihan profesi: “Saya memutuskan untuk belajar ilmu-ilmu alam, mungkin menjadi fisikawan. Saya bersyukur ekspedisi ini membantu saya mengambil keputusan.”
Topan Setiadipura mengakui bahwa ia sudah lama menjadi pendukung pengembangan energi nuklir, namun keikutsertaannya dalam ekspedisi ini memperluas wawasan tentang peluang pemanfaatan teknologi radiasi untuk tujuan damai. “Pengalaman ini sesungguhnya semakin menguatkan keyakinan saya bahwa umat manusia membutuhkan energi nuklir. Dengan memanfaatkannya, kita bisa mencapai hal-hal yang sebaliknya mustahil dilakukan, misalnya sampai ke Kutub Utara hanya dalam beberapa hari. Kemungkinan ini dapat kita terapkan juga di bidang-bidang lain yang penting bagi pembangunan berkelanjutan peradaban. Lebih dari itu, seperti yang kami lihat di kapal pemecah es, dengan teknologi modern kita dapat hidup dengan aman sangat dekat dengan reaktor nuklir,” simpul Topan Setiadipura.

