
AI Membutuhkan Lebih Banyak Energi
kembali ke daftar isiSegmen kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin memengaruhi konsumsi energi global. Seiring berkembangnya teknologi AI, kebutuhan terhadap kapasitas pembangkitan dan jaringan listrik juga meningkat. Komponen penting dalam penerapan AI adalah stabilitas pasokan listrik rendah karbon, idealnya bebas karbon, yang dapat disediakan oleh energi nuklir. Hal ini dibahas dalam laporan Badan Energi Internasional (IEA) berjudul “Energi dan Kecerdasan Buatan”.
Keterkaitan antara Energi dan Informasi
Dalam konstelasi teknologi saat ini, pemrosesan informasi oleh mesin tidak terpisahkan dari konsumsi energi. Secara fisik, angka biner 1 atau 0 mewakili hadir atau tidak hadirnya aliran energi. Prinsip pembelajaran mesin pun didasarkan pada penggunaan energi. Contohnya, dalam Jaringan Hopfield, yang diciptakan oleh penerima Hadiah Nobel atas penemuan fundamentalnya di bidang pembelajaran mesin, nilai referensi dalam jaringan diprogram agar sistem dapat mencapai kondisi energi terendah, atau “lembah”. Sistem secara alami akan cenderung menuju kondisi ini selama proses pembelajaran berlangsung.
Hingga saat ini, terobosan teknologi, penurunan biaya komputasi, dan ketersediaan data dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan AI sedemikian pesat, hingga AI berkembang dari sekadar kegiatan ilmiah menjadi industri besar yang memengaruhi proses produksi, kehidupan sehari-hari, politik, seni dan sektor energi.
Laporan tersebut mencatat bahwa sulit untuk menentukan secara pasti porsi konsumsi energi AI dalam beban kerja keseluruhan pusat data (data center), karena pusat data tidak hanya melayani kebutuhan AI. Di sisi lain, tidak semua sistem AI dijalankan melalui pusat data. Meskipun begitu, istilah “pusat data” tetap digunakan dalam laporan tersebut.
Tujuan Kebutuhan Energi Listrik Pusat Data
Menurut IEA, pusat data menyumbang sekitar 1,5% dari konsumsi listrik global pada tahun 2024 — setara dengan 415 TWh. Pangsa terbesar konsumsi ini berasal dari Amerika Serikat (45%), disusul oleh Tiongkok (25%), dan Eropa di posisi ketiga (15%).
Secara rata-rata, laju pertumbuhan konsumsi listrik oleh pusat data meningkat dari 3% per tahun dalam periode 2005–2015 menjadi 10% per tahun dalam periode 2015–2024. Sejak tahun 2017, konsumsi energi pusat data secara global tumbuh rata-rata sekitar 12% per tahun — lebih dari empat kali lipat laju pertumbuhan konsumsi listrik secara keseluruhan. Di Tiongkok, pertumbuhan tahunan rata-rata pada periode 2015–2024 mencapai 15%, sementara di AS — 12%.
Di negara-negara berkembang, tempat konsumsi energi meningkat di berbagai sektor ekonomi, pusat data menyumbang sekitar 5% dari pertumbuhan konsumsi total. Sedangkan di negara-negara dengan konsumsi energi yang relatif stabil selama bertahun-tahun, pusat data menyumbang sekitar 20% dari pertumbuhan tersebut.
Namun demikian, secara global, segmen pusat data bukanlah konsumen energi yang tumbuh paling cepat. Menurut IEA, konsumsi energi sektor ini masih berada di bawah industri berat, sektor industri lainnya, peralatan rumah tangga, pendinginan dan pemanasan ruangan serta air, dan transportasi listrik. Meski demikian, pada tingkat lokal, sambungan pusat data dapat menimbulkan tantangan dalam hal kecukupan kapasitas pembangkit dan kemampuan jaringan distribusi.
Proyeksi Kebutuhan Energi Listrik Pusat Data
IEA menyusun empat skenario proyeksi konsumsi energi listrik oleh pusat data hingga tahun 2030. Dalam skenario dasar, konsumsi listrik diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tingkat saat ini, mencapai 945 TWh, sedikit lebih tinggi dari total konsumsi listrik Jepang saat ini.
Dalam skenario “Lepas Landas”, konsumsi akan melebihi 1260 TWh pada tahun 2030. Dalam skenario “Efisiensi Tinggi”, berkat langkah-langkah penghematan energi, konsumsi akan mencapai sekitar 800 TWh. Dalam skenario “Angin Lawan”: sekitar 670 TWh. Para ahli IEA juga membuat proyeksi hingga tahun 2035, namun ketidakpastian yang tinggi membuat estimasi berkisar dari 700 TWh hingga 1720 TWh tergantung skenario.
Efisiensi Energi Berkat AI
Berbagai sektor industri telah berhasil mengurangi konsumsi energinya berkat optimalisasi proses produksi menggunakan AI. “Digitalisasi dan otomatisasi industri masa depan akan terus berkembang; negara dan perusahaan yang berhasil menjadi pemimpin dalam integrasi AI ke dalam produksi akan berada di garis depan. Penerapan AI dapat mempercepat pengembangan produk, menurunkan biaya, dan meningkatkan kualitas. Penerapan AI secara luas untuk optimalisasi proses industri dapat menghemat energi dalam jumlah yang bahkan melebihi konsumsi energi total Meksiko saat ini,” demikian isi laporan tersebut. Yang dimaksud adalah penghematan sekitar 8 EJ (exajoule) pada tahun 2035: setara lebih dari 222 TWh.
Dengan demikian, penghematan energi akibat penggunaan AI dapat memperlambat laju pertumbuhan konsumsi energi secara keseluruhan, namun hanya sebagian. Efisiensi tambahan juga diperoleh dari peningkatan kinerja energi server dan sistem pendinginan di pusat data.
30% kebutuhan listrik pusat data di dunia saat ini dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga batu bara
Pasokan Energi untuk Pusat Data
Dalam hal konsumsi energi, pusat data sebanding dengan pabrik metalurgi, termasuk yang sangat boros energi seperti pabrik aluminium. Selain itu, pusat data merupakan segmen konsumsi listrik yang tumbuh cepat dan semakin signifikan. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai bagaimana menjamin pasokan energi listrik yang andal bagi pusat data. Parameter utama dalam penempatan pusat data adalah: ketersediaan sumber energi yang andal, harga listrik yang kompetitif, dan kapasitas jaringan distribusi yang memadai.
Kapasitas pembangkit yang mencukupi merupakan faktor kunci dalam keputusan pembangunan pusat data. Menurut laporan IEA, saat ini 30% kebutuhan listrik pusat data di dunia dipenuhi oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Disusul oleh pembangkit listrik energi terbarukan (27%), pembangkit listrik berbahan bakar gas (26%), dan pembangkit listrik tenaga nuklir (15%). Setelah tahun 2030, diperkirakan pangsa batu bara akan sedikit menurun, gas tetap stabil, sementara pangsa energi terbarukan dan nuklir akan meningkat.
Masalah jaringan juga menjadi perhatian di banyak wilayah: “Baik bagi perusahaan pembangkit maupun konsumen energi, termasuk pusat data, koneksi ke jaringan listrik memakan waktu dan menghadapi sejumlah tantangan. Pembangunan jalur transmisi baru di negara-negara dengan ekonomi maju dapat memakan waktu 4 hingga 8 tahun, sementara waktu tunggu untuk komponen utama jaringan seperti transformator dan kabel telah meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir,” demikian disebutkan dalam laporan tersebut.
Keinginan untuk memastikan pasokan listrik yang semaksimal mungkin andal dan dapat dikendalikan mendorong terjalinnya kemitraan antara perusahaan teknologi dan energi. Di AS, sejumlah operator pusat data besar mengumumkan kerja sama dengan perusahaan pembangkitan dan distribusi energi, yang kini sedang membangun pembangkit listrik berbahan bakar gas baru.
Kesepakatan serupa juga dicapai oleh sejumlah perusahaan teknologi besar AS dengan pembangkit listrik tenaga nuklir pada tahun 2024. Misalnya, perusahan Oracle pada bulan September mengumumkan rencana untuk menggunakan tiga reaktor modular skala kecil (SMR) dengan kapasitas 1 GW untuk memasok pusat data. Pada pertengahan Oktober, Amazon mencapai kesepakatan dengan Energy Northwest untuk membangun empat unit reaktor canggih di negara bagian Washington dengan kapasitas awal 320 MW dan potensi peningkatan hingga 960 MW. Teknologi ini dikembangkan oleh X-energy — perusahaan yang juga menerima investasi dari Amazon. Proyek ini dijadwalkan mulai beroperasi pada awal dekade 2030-an. Selain itu, Amazon juga sedang mengembangkan proyek pembangkit nuklir berkapasitas 300 MW bersama Dominion Energy. Google, pada waktu yang sama, menandatangani perjanjian pembelian listrik dari reaktor SMR masa depan yang dikembangkan oleh Kairos Power. Kairos berencana membangun kompleks reaktor dengan kapasitas 500 MW pada tahun 2035. Sebagai langkah awal, perusahaan tersebut sedang membangun prototipe reaktor Hermes berbasis garam cair di Oak Ridge, negara bagian Tennessee, yang dijadwalkan beroperasi pada tahun 2027. Langkah berikutnya adalah pembangunan pembangkit listrik dua unit. “Rencana pembangunan PLTN kecil yang diumumkan sejauh ini untuk menyuplai pusat data mencakup kapasitas gabungan hingga 25 GW secara global. Namun, hampir seluruh proyek tersebut berlokasi di AS dan berada pada berbagai tahap perencanaan dan kejelasan. Proyek-proyek awal diperkirakan tidak akan beroperasi sebelum akhir dekade ini,” demikian kesimpulan dalam laporan.
Keramahan Lingkungan yang Nyata
Banyak perusahaan teknologi dan operator pusat data besar menargetkan pengurangan emisi dan penggunaan energi bersih, sehingga mereka membeli listrik dari sumber energi terbarukan, sebagaimana disebutkan dalam laporan IEA. Namun, dalam banyak kasus, ini hanya berupa kesepakatan finansial. Artinya, dalam praktiknya, kebutuhan energi secara fisik tetap dipenuhi oleh sumber lain: gas alam atau batu bara. Meski begitu, beberapa perusahaan teknologi benar-benar berusaha menurunkan emisi secara nyata. Misalnya, Google dan Microsoft menandatangani kontrak pasokan listrik dari sumber energi rendah karbon — seperti PLTA, PLTN, pembangkit energi panas bumi, dan pembangkit berbahan bakar gas dengan teknologi penangkapan CO₂. Contohnya, pada September 2024, Microsoft dan Constellation Energy menandatangani kontrak selama 20 tahun untuk menghidupkan kembali Unit 1 PLTN Three Mile Island.
Minat terhadap Semua Skala Tenaga Nuklir
Dalam menilai prospek penyediaan energi untuk pusat data menggunakan tenaga nuklir, laporan IEA menyoroti pembangkit listrik tenaga nuklir skala kecil. Namun, penting juga untuk mencatat tidak hanya reaktivasi unit di Three Mile Island, tetapi juga kontrak antara Amazon Web Services dan Talen Energy untuk penyediaan 960 MW dari PLTN Susquehanna, yang terdiri dari dua unit masing-masing berkapasitas 1257 MW. Selain itu, pada Mei, Google mengumumkan kerja sama dengan Elementl Power dalam tiga proyek tenaga nuklir sebagai respons terhadap lonjakan konsumsi energi dari proyek berbasis AI. Google akan menyediakan pendanaan untuk pelaksanaan proyek-proyek ini. Diharapkan masing-masing proyek akan memiliki kapasitas 600 MW, yang menurut klasifikasi IAEA termasuk dalam kategori pembangkit tenaga nuklir skala menengah. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa di AS, apalagi di negara lain, pembangkit nuklir dari berbagai skala dapat digunakan untuk mendukung pusat data yang berfokus pada AI.
Di Rusia, kombinasi “pusat data – PLTN” telah dikembangkan sejak lama: pada September 2019, pusat data Kalininsky mulai beroperasi di dekat PLTN Kalininskaya, yang menyuplai listriknya. Sejak itu, Rosatom terus mengembangkan jaringan pusat data terdistribusi miliknya sendiri, yang kini masuk dalam tiga besar di Rusia dalam hal kapasitas daya yang tersedia. Selain itu, perusahaan ini juga bekerja sama dengan organisasi yang mengembangkan teknologi AI di Rusia.
dan menyesuaikan PLTN skala kecil, menengah, dan besar untuk berbagai jenis proyek, dan semuanya dapat digunakan untuk memasok energi ke pusat data. Berkat pengalamannya, para ahli nuklir Rusia siap menawarkan solusi terpadu kepada calon pelanggan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk pembangunan dan penyediaan energi pusat data berbasis tenaga nuklir dari berbagai skala.
Di Rusia kombinasi “pusat data – PLTN” telah lama dikembangkan: sejak tahun 2019 pusat data Kalininsky telah beroperasi di dekat PLTN Kalininskaya