Uang Kembali ke Uranium
Berlangganan buletin
Berlangganan
#289Mei 2025

Uang Kembali ke Uranium

kembali ke daftar isi

Pada bulan April tahun ini, terbit edisi terbaru dari “Buku Merah” – Uranium 2024: Resources, Production and Demand (“Uranium: Sumber Daya, Produksi, dan Permintaan pada Tahun 2024”) yang membahas industri pertambangan uranium. Para penulis laporan menyimpulkan bahwa era investasi rendah di sektor ini, yaitu eksplorasi geologi, pembangunan tambang, dan produksi, telah berakhir. Lebih dari itu, arus investasi terus mengalami pertumbuhan. Dasaran sumber daya yang ada saat ini cukup untuk memasok uranium alam bagi seluruh PLTN yang sedang beroperasi maupun yang direncanakan hingga tahun 2050. Namun, untuk menjamin pasokan bagi pembangkit tenaga nuklir dalam jangka panjang, dibutuhkan tambahan pendanaan.

Uranium 2024: Resources, Production and Demand adalah laporan yang diterbitkan setiap dua tahun sekali. Dokumen ini disusun oleh para pakar dari IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) dan NEA (Badan Energi Nuklir). Edisi terbaru mencakup analisis data tahun 2021 dan 2022. Sebagian data dari tahun 2023 dan 2024 juga telah dimasukkan, beserta proyeksi perubahan kapasitas terpasang pembangkit nuklir di berbagai kawasan dan dunia secara keseluruhan, serta dinamika kebutuhan uranium alam untuk reaktor daya hingga tahun 2050 dan setelahnya.

Eksplorasi Geologi dan Pembangunan Tambang

Bagian ini menyoroti tren utama pada 2021–2022: dalam dua tahun terakhir, investasi global untuk eksplorasi dan pembangunan tambang mulai meningkat kembali. Tren ini mematahkan kecenderungan penurunan belanja di sektor tersebut selama beberapa tahun sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 2020, belanja domestik untuk eksplorasi geologi dan pembangunan tambang hanya mencapai 380 juta dolar AS akibat rendahnya harga uranium. Namun pada 2022, seiring meningkatnya minat terhadap energi nuklir, nilainya melonjak menjadi USD 800 juta. Data awal untuk 2023 menunjukkan kenaikan lebih lanjut hingga USD 840 juta. Meski demikian, angka ini masih berada di bawah kisaran USD 1,5–2,1 miliar yang tercatat sebelum terjadi penurunan di bidang ekonomi dan industri.

Pengeluaran untuk eksplorasi di luar negeri juga menunjukkan tren naik secara global. Dari USD 50 juta pada tahun 2020, angkanya meningkat menjadi sekitar USD 70 juta pada tahun 2022. Data awal untuk tahun 2023 menunjukkan pengeluaran sebesar USD 80 juta.

Negara-negara yang menjadi pemimpin dalam total investasi eksplorasi dan pembangunan tambang antara lain: Kanada, Tiongkok, Rusia, India, Namibia, dan Uzbekistan. Enam negara ini menyumbang 90% dari total volume investasi global.

Sumber Daya

Secara keseluruhan, basis sumber daya uranium hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan data edisi sebelumnya. Australia tetap menjadi negara dengan cadangan sumber daya uranium terbukti yang dapat ditambang terbesar di dunia.

Jumlah total sumber daya yang dapat ditambang dengan biaya produksi di bawah USD 260 per kilogram uranium mencapai lebih dari 7,9 juta ton uranium. Dari jumlah tersebut, sumber daya terukur dan terbukti (yang menyumbang 60% dari total) meningkat sebesar 1% dalam dua tahun terakhir, sementara sumber daya tereka (40% sisanya) tetap relatif stabil. Untuk kategori biaya produksi hingga USD 130 per kg uranium, jumlah sumber daya turun sebesar 3% dibandingkan tahun 2021, menjadi 5,9 juta ton uranium. Penurunan lebih signifikan terlihat pada kategori hingga USD 80 dan USD 40 per kg uranium — masing-masing turun sebesar 6% dan 14%. Penurunan ini terutama disebabkan oleh proses re-evaluasi sumber daya secara besar-besaran yang dilakukan oleh Brasil dan Uzbekistan.
Hanya empat negara yang melaporkan keberadaan sumber daya uranium dalam kategori biaya di bawah USD 40 per kilogram, dan 75% dari jumlah tersebut terkonsentrasi di Kazakhstan. Para penulis laporan menekankan bahwa tren saat ini adalah melakukan pembaharuan estimasi dan memindahkan cadangan ke dalam kategori biaya yang lebih tinggi.

Data menarik ditampilkan dalam sebuah tabel yang merinci penyebab utama perubahan besar dalam volume sumber daya uranium. Informasi tersebut disusun berdasarkan negara dan kategori (tingkat kepercayaan eksplorasi dan rentang biaya produksi). Misalnya, di Uzbekistan dan Amerika Serikat, uranium dengan biaya produksi di bawah USD 40 per kg telah habis dalam dua tahun terakhir antara dua edisi “Buku Merah”. Di Uzbekistan, cadangan dengan biaya produksi di atas USD 260 per kg telah dihapus, termasuk cadangan yang dianggap tidak layak, sementara sebagian sumber daya tereka dikonversi menjadi sumber daya terukur yang dapat ditambang. Hasil akhir dari seluruh proses re-evaluasi: pengurangan sebanyak 67700 ton uranium. Beberapa negara — seperti Bulgaria, Kamerun, dan Pakistan — untuk pertama kalinya melaporkan keberadaan sumber daya uranium. Cadangan meningkat di Mesir dan Arab Saudi; untuk yang terakhir, peningkatan tersebut terkait dengan penemuan baru di lokasi uranium-torium Jabal Sayid. Sementara itu, Namibia mencatat kenaikan signifikan sebesar 41200 ton uranium di tiga kategori biaya tertinggi.

dengan pangsa pasar 43 %

Kazakhstan adalah produsen uranium terbesar di dunia

Produksi

Produksi uranium dari tambang mencapai titik terendah pada tahun 2021, yaitu sebesar 47361 ton. Tren penurunan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya pertambangan di Kazakhstan dan Kanada akibat harga pasar yang rendah serta dampak pandemi, sementara di Australia penyebab tambahannya adalah penghentian operasi di tambang Ranger. Tren ini berlangsung selama lima tahun dan baru berbalik arah pada tahun 2022, ketika produksi naik 5% menjadi 49490 ton uranium. Setahun kemudian, pada 2023, pertumbuhan meningkat dua kali lipat dan produksi total mencapai 54345 ton. Namun, angka ini masih 14% lebih rendah dari puncaknya yang hampir mencapai 63 ribu ton pada tahun 2016.

Pada tahun 2022, uranium alam diproduksi di 17 negara. Produsen terbesar adalah Kazakhstan dengan pangsa pasar 43%. Volume produksinya dua kali lipat lebih besar dibandingkan Kanada, Namibia, Australia, dan Uzbekistan — yang masing-masing menempati peringkat kedua hingga kelima dalam daftar produsen terbesar. Rusia berada di peringkat keenam, disusul oleh Niger, Tiongkok, dan India di posisi ketujuh hingga kesembilan. Kesembilan negara ini secara kolektif menyumbang 99% dari produksi uranium global.

Pada tahun 2022, metode dominan dalam penambangan uranium adalah pelindian bawah tanah melalui sumur bor (pelindian in-situ), yang menyumbang sekitar 60% dari produksi. Namun pada 2023, pangsa metode ini menurun menjadi 55% akibat dimulainya kembali operasi tambang bawah tanah McArthur River di Kanada.

Permintaan

“Buku Merah” mengkaji dua skenario perkembangan energi nuklir: skenario “rendah” dan skenario “tinggi”. Proyeksi kebutuhan uranium untuk energi nuklir pun dihitung berdasarkan kedua skenario tersebut. Pada 1 Januari 2023, terdapat 438 unit reaktor tenaga nuklir aktif di dunia dengan kapasitas listrik total terpasang sebesar 394 GW. Menurut estimasi para ahli, reaktor-reaktor ini membutuhkan sekitar 59 ribu ton uranium per tahun. Dalam skenario “rendah”, kapasitas terpasang reaktor tenaga nuklir secara global diperkirakan akan meningkat menjadi 574 GW, dengan kebutuhan uranium sekitar 90 ribu ton per tahun. Sedangkan dalam skenario “tinggi”, kapasitas akan mencapai 900 GW dan kebutuhan uranium mencapai 142 ribu ton per tahun.

Wilayah yang diperkirakan mengalami pertumbuhan tertinggi adalah Asia Timur — mencapai 212 GW dalam skenario “rendah” dan 354 GW dalam skenario “tinggi”. Kapasitas nuklir juga akan tumbuh secara signifikan di Asia Tengah dan Asia Selatan serta Timur Tengah (wilayah-wilayah ini digabungkan dalam laporan): hingga 17,4 GW dalam skenario “tinggi” dan 7,4 GW dalam skenario “rendah”. Di Asia Tenggara, kapasitas nuklir tidak akan muncul dalam skenario “rendah”, namun dalam skenario “tinggi” akan tumbuh hingga 7 GW. Untuk negara-negara Eropa di luar Uni Eropa (termasuk Rusia), kapasitas diproyeksikan akan meningkat hingga 104 GW dalam skenario “rendah” dan 124 GW dalam skenario “tinggi” pada tahun 2050. Sedangkan untuk negara-negara anggota Uni Eropa, proyeksinya lebih pesimistis: penurunan sebesar 17% dari tingkat tahun 2022 dalam skenario “rendah” (menjadi 83,5 GW) atau peningkatan sebesar 33% dalam skenario “tinggi” (menjadi 133,7 GW). Di Afrika, diperkirakan kapasitas akan mencapai 11,3 GW atau 20,3 GW. Di Amerika Utara, kapasitas total reaktor tenaga nuklir dapat menurun hingga 88,6 GW atau meningkat hingga 141,8 GW.

“Faktor-faktor kunci yang menentukan masa depan kapasitas pembangkit listrik tenaga nuklir meliputi: meningkatnya permintaan listrik, daya saing ekonomi PLTN, solusi pembiayaan yang inovatif untuk proyek-proyek berbiaya tinggi ini, rantai pasok yang andal, strategi pengelolaan limbah yang kokoh, penerimaan publik, serta keselarasan dengan tujuan nasional dalam hal keamanan energi,” demikian dinyatakan dalam laporan tersebut.

Dunia memiliki cukup uranium untuk memenuhi kebutuhan energi nuklir global hingga tahun 2050 dalam skenario apa pun

Keseimbangan Penawaran dan Permintaan

Saat ini, dunia memiliki cukup uranium untuk memenuhi kebutuhan energi nuklir global hingga tahun 2050 dalam skenario apa pun. Bahkan dalam skenario “tinggi”, hanya sekitar 50% dari sumber daya yang telah ditemukan dengan biaya produksi di bawah 130 dolar AS per kg yang akan dibutuhkan, atau sekitar 35% dari dasaran sumber daya dengan biaya di bawah 260 dolar AS per kg. Namun, keberadaan sumber daya tersebut tidak serta-merta menjamin stabilitas produksi uranium alam.

Pada tahun 2022, tambang menyuplai sekitar 85% dari total kebutuhan industri nuklir global — naik dari 79% pada tahun 2020. Kebutuhan selebihnya dipenuhi melalui pasokan dari sumber sekunder, seperti cadangan pemerintah dan komersial, bahan bakar bekas yang diproses ulang, dan lainnya. Para penulis “Buku Merah” mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan pembangkit listrik telah menumpuk cadangan uranium dalam jumlah signifikan, membeli saat harga masih rendah untuk mengurangi risiko gangguan pasokan yang sudah muncul sejak pandemi COVID-19.

Kenaikan harga mendorong pemilik fasilitas penambangan yang sebelumnya ditutup untuk mengaktifkan kembali produksinya. Namun, reaktivasi dan pembangunan fasilitas produksi uranium alam menghadapi berbagai kendala yang memperlambat transisi ke tahap operasi penuh. Penulis “Buku Merah” menyimpulkan bahwa jika skenario permintaan rendah yang terjadi, produksi uranium hanya akan mampu mengikuti kebutuhan hingga tahun 2031, dan jika skenario permintaan tinggi yang terjadi — hanya hingga tahun 2027. Setelah itu, defisit mungkin terjadi. “Sumber sekunder akan terus menutupi sebagian permintaan uranium, tetapi sangat penting untuk mengoperasikan kapasitas baru di pusat-pusat produksi yang direncanakan dan potensial serta melanjutkan eksplorasi geologi untuk menemukan sumber daya tambahan,” demikian dinyatakan dalam laporan tersebut.

Sangat penting untuk mengoperasikan kapasitas baru di pusat-pusat produksi yang dirancang dan potensial serta melanjutkan eksplorasi geologi untuk menemukan sumber daya tambahan

Mewujudkan rekomendasi para penulis tampaknya tidak akan mudah, karena pembangunan fasilitas baru membutuhkan investasi besar dan keahlian teknis tingkat tinggi. Para produsen kemungkinan juga akan menghadapi berbagai hambatan kompleks dan tak terduga, termasuk ketegangan antara negara, perubahan regulasi, masalah teknis, serta perlawanan dari masyarakat lokal. Faktor kunci dalam memulai produksi baru dan menarik investasi adalah kondisi pasar uranium itu sendiri.

Keberhasilan dalam menutup siklus bahan bakar nuklir dengan melibatkan kembali uranium terdeplesi dan melakukan daur ulang berulang kali terhadap uranium yang sudah ditambang berpotensi mengubah keadaan dalam pasar uranium alam. Rosatom menganggap pengembangan siklus bahan bakar tertutup ini sebagai strategi utama untuk masa depan energi nuklir. Teknologi siklus tertutup akan diterapkan dalam proyek “Proryv” (Terobosan).